Language

Selasa, 07 Desember 2010

Sistem komputer

Sistem komputer

RANGKUMAN KOMPUTER

RANGKUMAN KOMPUTER
sejarah komputer

perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah


Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah
Itsna Asyariyah ?

Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah, seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Safi’i dengan Madzhab Maliki.
Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?.
Oleh karena itu, disaat Muslimin bangun melawan serangan Syiah, mereka menjadi penonton dan tidak ikut berkiprah.
Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui.
Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya.
Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i.
Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul.
Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur'an mereka juga berbeda dengan Al-Qur'an kita (Ahlussunnah).
Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur'annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.
Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.
Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).

1.      Ahlussunnah         : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a)      Syahadatain
b)      As-Sholah
c)      As-Shoum
d)      Az-Zakah
e)      Al-Haj
Syiah                     : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a)      As-Sholah
b)      As-Shoum
c)      Az-Zakah
d)      Al-Haj
e)      Al wilayah

2.      Ahlussunnah         : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a)      Iman kepada Allah
b)      Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c)      Iman kepada Kitab-kitab Nya
d)      Iman kepada Rasul Nya
e)      Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f)       Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah                     : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a)      At-Tauhid
b)      An Nubuwwah
c)      Al Imamah
d)      Al Adlu
e)      Al Ma’ad

3.      Ahlussunnah         : Dua kalimat syahadat
Syiah                     : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.

4.      Ahlussunnah         : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.
Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah                     :  Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka.

5.      Ahlussunnah         : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah :
a)      Abu Bakar
b)      Umar
c)      Utsman
d)      Ali Radhiallahu anhum
Syiah                     : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai'at dan mengakui kekhalifahan mereka). 

     1  -  2      Selanjutnya      

Syahadatain



Makna Syahadatain
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar" (QS. Al Hujurat (49) : 15)
Syahadatain atau dua kalimah syahadat merupakan kalimat yang utama dan pertama yang harus diucapkan dan dipahami apabila seseorang masuk Islam dan bagi seluruh umat Islam pada umumnya. Syahadatain ini mengandung dua pengertian yang sangat mendasar yaitu bahwa tiada Ilah selain Allah dan Muhammad SAW adalah Rasulullah.
Bagi seseorang yang mengucapkan kalimah syahadat ini ada 3 syarat yang diperlukan agar syahadatnya diterima oleh Allah SWT yaitu : mengetahui ma’nanya dengan benar, membenarkan dengan sungguh-sungguh di hati (tashdiq), dan ikhlas yakni mengerti apa yang dia persaksikan dengan benar. Allah berfirman di dalam Al Qur’an :
"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada Ilah kecuali Allah" (QS. Muhammad(47) : 19)
Juga di dalam surat Az Zukhruf ayat 86 Allah berfirman :
"Kecuali mereka yang menyaksikan kebenaran dan mereka mengerti" (QS Az Zukhruf (43) : 86)
Dua kalimah syahadat ini merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Ini berarti bahwa apabila seseorang bersaksi tiada Ilah selain Allah maka ia juga harus mempercayai bahwa Muhammad SAW adalah pembawa risalah yang harus diikuti.
Ma’na Laa Ilaaha Illallah
Secara umum kalimat ini terdiri atas dua bagian yaitu Laa Ilaaha (tiada Ilah) dan Illallah (selain Allah). "Laa" yang terdapat pada kalimat "Laa Ilaaha Illallah" adalah merupakan muruf nafi (penghilangan) yang menghilangkan segala jenis, dalam hal ini yang di nafi-kan adalah segala jenis Ilah. Illa adalah huruf istisna (pengecualian) yang mengecualikan Allah dengan segala jenis Ilah yang di nafi-kan. Bentuk kalimat seperti ini disebut kalimat manfi (negatif) lawan dari kalimat mutsabat (positif). Kata Illa telah meng"itsbat"kan kalimat yang negatif (manfi). Dalam bahasa Arab, itsbat setelah nafi mempunyai maksud membatasi (Al Hasru), dan taukid (menguatkan). Dengan demikian ‘Laa Ilaaha Illallah’ berarti membuang seluruh ilah dan illahllah berarti menetapkan Allah sebagai satu-satunya Ilah yang sebenar-benarnya berhak di sembah. Oleh karena itu nafi (menghilangkan) ilah-ilah yang ada harus disertai dengan itsbat (menetapkan) Allah sebagai ilah yang tunggal dalam kehidupan. Jadi kedua hal itu tidak dapat dipisahkan.
"Ilah" di dalam bahasa Arab memiliki akar kata alaha yang berarti antara lain : tenteram, lindungan, cinta, dan sembah. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram"(QS. Ar Ra’ad(13) : 28)
"Adapun orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah" (QS. Al Baqarah(2) : 165)
"Aku berlindung kepada Allah bahwa aku termasuk golongan orang-orang yang jahil" (QS. Al Baqarah(2) : 67)
Jika seseorang memperhambakan diri terhadap sesuatu maka ia akan mengikutinya, memuliakan, mengagungkan, mematuhi dan tunduk kepadanya serta bersedia mengorbankan kemerdekaan yang dimiliki. Allah SWT adalah satu-satunya Yang Memiliki dan Yang Menguasai langit dan bumi dan segala isinya.Oleh karena itu Dialah yang menciptakan (Al Khaliq), Yang Memberi rizqi (Ar Raziq) dan Dia pula yang Mengelola (Al Mudabbir). Allah Ta’ala adalah satu-satunya yang wajib di taati jadi Dialah yang menentukan segala hukum dan segala aturan (Al Hakim), Yang Melindungi (Al Wali), dan Dia lah yang menjadi tumpuan harapan dan kepada-Nya-lah ditujukan segala amalan (Al Ghayah) dan pada puncaknya Dialah yang Maha disembah satu-satunya (Al Ma’bud)
Jadi dengan demikian maka kalimat Laa Ilaaha Illallah mengandung beberapa pengertian sebagai yaitu : Laa khaliqa Illallah (Tiada Pencipta kecuali Allah), Laa Raziqa Illallah (Tiada Pemberi Rizqi kecuali Allah), Laa Mudabbira Illallah (Tiada Pengelola kecuali Allah), Laa Hakima Illallah (Tiada Pembuat Hukum kecuali Allah), Laa Waliyya Illallah (Tiada Pelindung kecuali Allah), Laa Ghayata Illallah (Tiada Tujuan kecuali Allah), Laa Ma’buda Illallah (Tiada Sesembahan kecuali Allah).
Di dalam Al Qur’an Allah berfirman :
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan) : Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu....." (QS. An Nahl(16) : 36)
Thaghut adalah merupakan syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah SWT. Dari uraian diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Ilah adalah segala sesuatu yang mendominasi dan menguasai diri kita. Maka Laa Ilaaha Illallah juga dapat diartikan sebagai ‘Tiada segala sesuatu yang mendominasi diri kita selain daripada kekuasaan Allah semata’. Sebagai suatu ilustrasi apabila seseorang mendengar panggilan untuk beribadah kepada Allah tetapi dia tidak segera menyambutnya hanya karena sesuatu hal yang bersifat duniawi maka baginya masih terdapat suatu ilah selain Allah dan ia belum mengamalkan syahadatain dengan sebenar-benarnya karena ia masih mendekati apa yang disebut dengan thaghut.
Ma’na Muhammadurrasulullah
Persaksian Laa Ilaaha Illallah diatas tidak akan terwujud secara benar dalam kehidupan sehari-hari tanpa mengikuti petunjuk yang diberikan Rasulullah Muhammad SAW maka persaksian terhadap kerasulan Nabi Muhammad SAW dijadikan sebagai salah satu dari dua kalimah syahadat yang merupakan pintu gerbang untuk memasuki Dienul Islam. Rasulullah merupakan contoh teladan yang utama bagi setiap muslim dan keteladanan ini bersifat total baik secara vertikal kepada Allah yang berupa ibadah-ibadah khusus maupun yang bersifat horisontal kepada sesama makhluk yang berupa ibadah-ibadah yang bersifat umum. Hal ini difirmankan oleh Allah di dalam surat Al Ahzab ayat 21 yaitu :
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (QS. Al Ahzab(33) : 21)
Dampak persaksian Syahadatain
Ma’na Syahadatain jika dipahami dengan benar maka akan mendatangkan dampak yang positif bagi setiap pribadi muslim, yang antara lain dapat diukur dari sikap yang lahir darinya yaitu cinta (mahabbah) dan Ridho. Seorang muslim harus memberikan cintanya yang tertinggi kepada Allah SWT kemudian kepada Rasulullah SAW dan berjihad di jalan Allah SWT. Di dalam Al Qur’an Allah berfirman :
"Katakanlah : ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri karugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya’. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq" (QS At Taubah(9) : 24)
Jadi di dalam kehidupan seorang pribadi muslim cinta pertama dan yang paling utama mestilah kepada Allah SWT, kamudian kepada Rasulullah SAW dan jihad fi sabilillah di atas segala-galanya. Mencintai anak, isteri, suami, keluarga, perniagaan, dan lain-lain yang bersifat duniawi tidaklah dilarang tetapi diletakkan pada tataran cinta yang kedua, dan cinta kepada segala sesuatu yang bersifat duniawi tidaklah boleh melebihi cintanya kepada Allah, Rasul, dan Jihad fi sabilillah. Di dalam surat Al Baqarah ayat 165 Allah berfirman :
"Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah : mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah" (QS. Al Baqarah(2) : 165).
Disamping itu setiap muslim harus ridha dengan segala aturan dan keputusan Allah dan Rasul-Nya, ridha lahir bathin tanpa ada sedikitpun rasa tidak puas di dalam dirinya.
Setiap muslim hendaknya ridha Allah sebagai Rabb-Nya. Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul yang diikutinya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :
"Barangsiapa mengatakan,’Aku Ridla Allah Rabbku, dan Islam agamaku, dan Muhammad Nabi (Rasul) ku’ wajib baginya masuk surga" (HR. Abu Dawud)
Cinta dan ridho itu diwujudkan dengan tha’at kepada Allah dan Rasul-Nya. ketha’atan ini sebagai bukti rasa cinta yang mendalam sehingga mau melakukan apapun yang diperintahkan oleh yang dicintainya dan meninggalkan apapun yang dilarang olehnya. Allah mengutus Rasul pada setiap umat agar ditaati ajaran yang disampaikannya, untuk membawa manusia menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.



Wahabi

Orang-orang biasa menuduh "wahabi" kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid'ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Quranul Karim dan hadits-hadits shahih. Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdoa (memohon) hanya kepada Allah semata.
Suatu kali, di depan seorang Syaikh penulis membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba'in An-Nawawiyah. Hadits ini berbunyi:
"Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
Penulis sungguh kagum dengan terhadap keterangan Imam Nawawi ketika beliau mengatakan, "Kemudian jia kebutuhan yang dimintanya --menurut tradisi-- di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan, maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela."
Lalu kepada Syaikh tersebut penulis katakan, "Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah." Ia lalu menyergah, "Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan."
Penulis lalu bertanya, "Apa dalil anda?" Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, "Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa'd" (1) dan Aku bertanya padanya, "Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa'd dapat memberi manfaat kepadamu?!" Ia menjawab, "Aku berdoa (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku."
Lalu penulis berkata, "Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil aqidah dari bibimu yang bodoh itu."
Ia lalu berkata, "Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi."
Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahabi, kecuali sekadar yang penulis dengar dari para Syaikh. Mereka berkata tentang wahabi, "Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya."
Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh.
Kemudian penulis tanyakan jama'ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadits, dan fiqh.
Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang Syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, lalu beliau duduk di kursi dantak seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata dalam hati, "Ini adalah seorang Syaikh yang tawadhu' (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati)."
Lalu Syaikh membuka pelajaran-pelajaran dengan ucapan, "Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan...", dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam biasa membuka khutbah dan pelajarannnya.
Kemudian Syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahih-nya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Quranun Karim dan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, "Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf.(2) Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi. Ini termasuk tanaabuzun bil alqab (memanggil dengan panggilan- panggilan yang buruk). Allah melarang kita dari hal itu dengan firman-Nya, "Dan janganlah kamu panggil-mamanggil dengan gelar-gelaran yang buruk." (Al-Hujurat: 11)
Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi'i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, "Jika rafidhah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah."
Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan salah seorang penyair, "Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi."
Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, "Inilah Syaikh yang sesungguhnya!"

A. Pengertian wahabi

Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya, yaitu Muhammad. Betapa pun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang baik (Asmaa'ul Husnaa).


Syiah Vs Sunni

Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah, seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Safi’i dengan Madzhab Maliki.Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?.
Penulis(saya) menjawab benar perbedaan Sunni dan Syiah memang tidak sebatas Furu’iyah tetapi juga berkaitan dengan masalah Ushulli. Tetapi tetap saja Syiah adalah Islam(lihat tulisan ini). Kita akan lihat nanti. Tidak ada masalah dengan pendekatan Sunni dan Syiah karena tidak semuanya berbeda, terdapat cukup banyak persamaan antara Sunni dan Syiah.
Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui. Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya
Jawaban saya, kata-kata ini juga bisa ditujukan pada penulis itu sendiri, minimnya pengetahuan dia tentang Syiah kecuali yang di dapat dari Syaikh-syaikhnya. Kemudian berbicara seperti orang yang sok tahu segalanya. Dan berkomentar sebelum memahami persoalan sebenarnya.
Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i. Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul.
Bukankah baik kalau mengenal sesuatu dari sumbernya sendiri yaitu Ulama Syiah. Kalau si penulis itu menganggap Ulama Syiah Cuma berpura-pura lalu kenapa dia tidak menganggap Syaikh-Syaikh mereka itu yang sengaja mendistorsi tentang Syiah. Subjektivitas sangat berperan, anda tentu tidak akan mendengar hal yang baik tentang Syiah dari Ulama yang membenci dan mengkafirkan Syiah. Pengetahuan yang berimbang diperlukan jika ingin bersikap objektif. Sekali lagi perbedaan itu benar tidak sebatas Furu’iyah.
Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur’an mereka juga berbeda dengan Al-Qur’an kita(Ahlussunnah).
Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur’annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.
Kata-kata yang begitu kurang tepat, yang benar adalah Syiah meyakini Rukun Iman dan Rukun Islam yang dimiliki Sunni tetapi mereka merumuskannya dengan cara yang berbeda dan memang terdapat perbedaan tertentu pada Syiah yang tidak diyakini Sunni.
Kitab Hadis Syiah benar berbeda dengan Kitab Hadis Sunni karena Syiah menerima hadis dari Ahlul Bait as(hal ini ada dasarnya bahkan dalam kitab hadis Sunni lihathadis Tsaqalain) sedangkan Sunni sebagian besar hadisnya dari Sahabat Nabi ra.
sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur’an mereka juga berbeda dengan Al-Qur’an kita. Ini adalah kebohongan, yang benar Ulama-Ulama Syiah menyatakan bahwa Al Quran mereka sama dengan Al Quran Sunni. Yang mengatakan bahwa Al Quran Syiah berbeda dengan Al Quran Sunni adalah kaum Syiah Akhbariyah yang bahkan ditentang oleh Ulama-Ulama Syiah. Kaum Akhbariyah ini yang dicap oleh penulis itu sebagai Ulama Syiah. Sudah keliru generalisasi pula. Penafsiran Al Quran yang berlainan bukan masalah, dalam Sunni sendiri perbedaan tersebut banyak terjadi.
Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.
Yang berkata seperti ini adalah Ulama-ulama Salafi, karena terdapat Ulama Ahlussunah yang mengatakan Syiah itu Islam seperti Syaikh Saltut, Syaikh Muhammad Al Ghazali, Syaikh Yusuf Qardhawi, dan lain-lain. Sebenarnya yang populer di kalangan Sunni adalah Syiah itu Islam tetapi golongan pembid’ah. Cuma Salafi yang dengan ekstremnya menyebut Syiah agama tersendiri.
Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).
Saya akan menanggapi satu persatu pernyataan penulis ini
1. Ahlussunnah : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a) Syahadatain
b) As-Sholah
c) As-Shoum
d) Az-Zakah
e) Al-Haj
Syiah : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a) As-Sholah
b) As-Shoum
c) Az-Zakah
d) Al-Haj
e) Al wilayah
Jawaban: Saya tidak tahu apa sumber penukilan penulis ini, yang jelas Syiah juga meyakini Islam dimulai dengan Syahadat. Jadi sebenarnya Syiah meyakini semua rukun Islam Sunni hanya saja mereka menambahkan Al Wilayah. Yang ini yang tidak diakui Sunni, tentu perbedaan ini ada dasarnya.
2. Ahlussunnah : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a) Iman kepada Allah
b) Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c) Iman kepada Kitab-kitab Nya
d) Iman kepada Rasul Nya
e) Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f) Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)* 
a) At-Tauhid
b) An Nubuwwah
c) Al Imamah
d) Al Adlu
e) Al Ma’ad
Syiah jelas meyakini atau mengimani semua yang disebutkan dalam rukun iman Sunni, hanya saja mereka ,merumuskannya dengan cara berbeda seperti yang penulis itu sampaikan. Rukun iman Syiah selain Imamah mengandung semua rukun iman Sunni. Perbedaannya Syiah meyakini Imamah dan Sunni tidak, sekali lagi perbedaan ini ada dasarnya.
3. Ahlussunnah : Dua kalimat syahadat
Syiah : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka
Ini tidak benar karena syahadat dalam Sunni dan Syiah adalah sama Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Tidak mungkinnya pernyataan penulis itu adalah bagaimana dengan mereka orang Islam pada zaman Rasulullah SAW, zaman Imam Ali, zaman Imam Hasan dan zaman Imam Husain. Bukankah jelas pada saat itu belum terdapat 12 imam.
4. Ahlussunnah : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.
Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah : Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka
Imam Sunni tidak terbatas karena setiap ulama bisa saja disebut Imam oleh orang Sunni. Bagi Syiah tidak seperti itu, 12 imam mereka ada dasarnya sendiri dalam sumber mereka, dan terdapat juga dalam Sumber Sunni tentang 12 khalifah dan Imam dari Quraisy. Intinya Syiah dan Sunni berbeda pandangan tentang apa yang disebut Imam. Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan. Pernyataan ini hanya sekedar persepsi, tidak dibenarkan berdasarkan apa, jelas sekali penulis ini tidak memahami pengertian Imam dalam Syiah.
Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka. Saya tidak tahu apa dasar penulis itu, yang saya tahu Ulama Syiah selalu menyebut Sunni sebagai Islam dan saudara mereka. Anda dapat melihat dalam Al Fushul Al Muhimmah Fi Ta’lif Al Ummah oleh Ulama Syiah Syaikh Syarafuddin Al Musawi(terjemahannya Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah dan Syiah hal 33 yang membuat bab khusus yang berjudul Keterangan Para Imam Ahlul Bait Tentang Sahnya Keislaman Ahlussunnah) Atau anda dapat merujuk Al ’Adl Al Ilahykarya Murtadha Muthahhari( terjemahannya Keadilan Ilahi hal 271-275).
5. Ahlussunnah : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah :
a) Abu Bakar
b) Umar
c) Utsman
d) Ali Radhiallahu anhum
Syiah : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai’at dan mengakui kekhalifahan mereka).
Pembahasan masalah ini adalah cukup pelik, oleh karenanya saya akan memaparkan garis besarnya saja. Benar sekali khulafaurrosyidin yang diakui Sunni adalah seperti yang penulis itu sebutkan. Syiah tidak mengakui 3 khalifah pertama karena berdasarkan dalil-dalil di sisi mereka Imam Ali ditunjuk sebagai khalifah pengganti Rasulullah SAW. Pernyataan (padahal Imam Ali sendiri membai’at dan mengakui kekhalifahan mereka), disini lagi-lagi terjadi perbedaan. Sunni berdasarkan sumber mereka menganggap Imam Ali berbaiat dengan sukarela. Tetapi Syiah berdasarkan sumber mereka menganggap Imam Ali berbaiat dengan terpaksa. Hal yang patut diperhitungkan adalah Syiah juga memakai sumber Sunni untuk membuktikan anggapan ini, diantaranya hadis dan sirah yang menyatakan keterlambatan baiat Imam Ali kepada khalifah Abu Bakar yaitu setelah 6 bulan. Sekali lagi perbedaan ini memiliki dasar masing-masing di kedua belah pihak baik Sunni dan Syiah, jika ingin bersikap objektif tentu harus membahasnya secara berimbang dan tidak berat sebelah. Perbedaan masalah khalifah ini juga tidak perlu dikaitkan dengan Islam atau tidak, bukankah masalah khalifah ini jelas tidak termasuk dalam rukun iman dan rukun islam Sunni yang disebutkan oleh penulis itu. Oleh karenanyajika Syiah berbeda dalam hal ini maka itu tidak menunjukkan Syiah keluar dari Islam.
Sebelum mengakhiri bagian pertama ini, ada yang perlu diperjelas. Syiah meyakini rukun iman dan rukun islam Sunni hanya saja Syiah berbeda merumuskannya. Oleh karenanya dalam pandangan Sunni, Syiah itu Islam. Syiah meyakini Imamah yang merupakan masalah Ushulli dalam rukun Iman Syiah. Sunni tidak meyakini hal ini. Dalam pandangan Syiah, Sunni tetap sah keislamannya berdasarkan keterangan dari para Imam Ahlul Bait . Anda dapat merujuk ke sumber yang saya sebutkan.

Jumat, 19 November 2010

Sintesis Asam Asetat
Jar Ing An
Makalah Kimia, Minyak Bumi
RPP TERMOKIMIA SMA
Makalah Ttg GURU
Jejak-jejak Teknologi Islam
laporan praktikum kimia
Makalah: Cara pengambilan, penyimpanan dan pengiriman spesimen klinik
Terbentuknya Negara Kebangsaan Indonesia
Kemuhammadiyahan

Selasa, 02 November 2010

Kondisi Darah Manusia Ketika Berdoa, Bersedih, dan Jatuh Cinta


Sebuah penelitian dilakukan oleh pakar EFT (Emotional Freedom Techniques) untuk menunjukkan bagaimana kondisi darah manusia disaat normal, sedih, gembira, jatuh cinta dan saat berdoa. 

Pakar EFT yang bernama Dr. Felicy tersebut mengambil sampel darah seorang pasien bernama Rebecca, kemudian memotretnya dengan menggunakan “darkfield microscope” yang dihubungkan dengan monitor komputer. 

Dan tampaklah perubahan drastis pada darah Rebecca tersebut setiap kali emosinya berubah. Berikut ini adalah foto darah seorang Rebecca sebelum dan sesudah melakukan EFT.

Rebecca melakukan EFT dengan mengundang emosi “sedih” dengan cara memikirkan saat-saat sedih sampai dia menangis, lalu sang pakar EFT mengambil sampel darahnya.
Kondisi darah saat sedih,
Sel darah begerak cepat dan berbentuk air mata


Lalu Rebecca menggunakan EFT untuk mengundang energi “cinta” untuk memasuki tubuh dan darahnya. Dan seketika darahnya kembali normal, dan sel-sel darah bergerak dengan indah dan timbul substansi yang berkilauan dalam cairan darah. 

Kondisi darah saat merasakan cinta,
Sel darah bergerak pelan dan cenderung berkumpul


Satu kenyataan menarik pada sampel darah saat “sedih” terjadi perubahan seperti pada sampel darah saat “merasakan cinta”. Jadi walaupun darah itu sudah meninggalkan tubuh Rebecca ia tetap masih berhubungan dengan pemiliknya.

Kemudian seorang Rebecca mengundang rasa takut dan memikirkan kejadian menakutkan yang pernah ia alami. Dan sel-sel dalam darahnya bergerak tidak beraturan dengan sangat cepat dan terlihat berjauhan. Mungkin ini adalah akibat dari produksi adrenalin sebagai reaksi normal atas rasa takut.
Kondisi darah saat merasa takut,
Sel darah bergerak tidak beraturan dan berjauhan dengan sangat cepat


Lalu Rebecca mecoba untuk memikirkan “sifat feminine Tuhan”, yang dalam keyakinan agamanya ia sebut “divine mother”, sifat penyayang, penyantun dan pemelihara. 

Dan memohon kepada-Nya untuk menyalurkan energi feminine itu kedalam tubuh dan darahnya. Saat berdoa tersebut, Rebecca merasakan seperti ini,

“saya merasakan gelombang energi yang begitu besarnya menyelimuti diri saya, saya sampai menangis bahagia karenanya”
Saat sampel darah Rebecca diambil setelah berdoa dan merasakan pengalaman religius itu, kemudian dilihatkan dibawah mikroskop yang dihubungkan dengan komputer, semua yang hadir dilaboratorium itu seketika terdiam dan terpana karena melihat komdisi darah yang sama sekali berbeda dengan yang lain. 
Kondisi darah saat berdoa,
Timbul substansi putih berkilauan, darah bergerak pelan dan sangat teratur 

Cairan darahnya sangat cerah, gerakan sel darah sangat tenang seakan bergerak dengan penuh kedamaian, muncul banyak substansi yang berkilauan. Di dalam sel darah terdapat substansi yang bercahaya dan berdenyut seperti denyutan jantung mini.



http://originalsmahaclassibnu.blogspot.com/

Golongan Darah

Ibnu Hazim

Ibnu Hazim Al-secreto | Buat Lencana Anda